Thursday, November 3, 2016

( REVIEW FILM ) CATATAN DODOL CALON DOKTER


Sinopsis:
Ferdi Riva Hamzah atau Riva (Adipati Dolken) adalah lulusan fakultas kedokteran yang sedang menempuh fase pendidikan koass atau dokter muda di sebuah rumah sakit. Meskipun sudah sejauh itu, Riva masih sering merasa bahwa dia kurang cocok menjadi dokter. Gempuran tugas yang banyak dan ujian dari professor yang sering tidak bisa dia selesaikan dengan baik membuatnya ragu.


Dalam program koass, Riva selalu berkelompok dengan Evie (Tika Bravani) dan Budi (Ali Mensan). Dua temannya ini adalah teman dekat sejak SMA. Riva memiliki perasaan khusus pada Evie yang paling rajin dan pintar diantara mereka bertiga, bahkan pilihannya untuk masuk pendidikan kedokteran dilatarbelakangi karena itu menjadi pilihan Evie juga. Sementara Budi yang doyan banget makan memilih pendidikan kedokteran karena dua teman dekatnya itu: Riva dan Evie.


Dalam putaran stase mereka bersama-sama dengan Kresno, dokter muda asli Jawa yang percaya pada klenik. Cilmil yang takut dosa. Kalay, pemuda keturunan india yang gemar merayu siapapun termasuk pasiennya. Hani, yang suka mencampur-campur bahasanya dengan bahasa inggris meskipun hasilnya kacau balau. Dan Uba yang modis tapi bau badan.

Meskipun sering mendapat hukuman dari professor Riva, Evie dan Budi tetap kompak hingga kemudian Riva begitu cemburu karena Evie diantar ke rumah sakit oleh seorang lelaki bernama Ilham yang adalah teman SMPnya. Hubungan mereka semakin memburuk ketika adanya pengumuman beasiswa ke korea dan mereka terpisah kelompok untuk saling berkompetisi, ditambah dengan datang dokter muda baru bernama Vena (Aurelie Moremans).



Sekelompok dengan Vena, Riva merasa ada yang aneh ketika Vena sering sekali menghilang saat shift jaga. Riva menemukan Vena menangis terisak dan bertanya ada masalah apa? Vena menjawab bahwa dia tidak bisa menjadi dokter, ini bukan passionnya tapi keinginan orang tuanyalah yang membuat dia ada disini. Riva memberikan dukungan pada Vena dan mereka segera menjadi dekat. Karena semakin jauh dari Evie dan Budi pun marah karena Riva dekat dengan Vena yang ditaksirnya, Riva dan Vena menjadi semakin dekat dan mereka berpacaran.


Saat sedang menangani pasien bersama Vena, Evie disalahkan oleh dokter karena kondisi pasien jadi memburuk setelah tindakan yang dilakukan Vena. Evie sangat kesal karena Vena bisa dengan cuek berkata bahwa dia memang belum mahir melakukannya, jika sudah mahir tentu dia tidak akan mendesak Evie agar diperbolehkan menangani pasien. Evie merasa bahwa Vena dapat menimbulkan masalah untuk Riva mengingat hubungan mereka yang dekat.

Apakah benar dugaan Evie tersebut? Benarkah Vena akan menimbulkan masalah untuk Riva? Apakah Riva akan terus meneruskan pendidikan kedokterannya dan menemukan passion di bidang medis?

Filmnya masih diputar di bioskop saat ini kalau penasaran dengan jalan ceritanya :)

Kata Ninda:
Nonton film ini karena tentu saja saya sudah tamat membaca seluruh bukunya. Memang ada garing-garing gimananya tapi lucu kok dan membuat saya terhibur. Itu yang saya ekspektasikan sih saat mau nonton film ini. Harapan saya adalah untuk mendapatkan hiburan dari komedi-komedi yang disuguhkan. Ya namanya juga catatan dodol, means seharusnya lucu ya kan?


Tapi saya nggak mendapatkan itu dari film ini. Lucunya paling cuma sekitar 10 persen di bagian awal, sisipan di tengah dan di bagian akhir meskipun bagian akhirnya ini jadinya maksa sih.

Saya juga nggak mendapatkan kesan kekentalan persahabatan diantara mereka, terutama Riva, Evie dan Budi. Ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan dalam bukunya, memang sudah lupa-lupa ingat soalnya saya baca bukunya sudah lama banget sekitar SMA atau lulus SMA ya? Kira-kira pada masa itu lah. Riva dan Evie malah naksir-naksiran padahal dalam buku mereka memang pure teman. Evie sekalipun rajin juga memiliki sisi gokil, itulah yang menyebabkan dia cocok berteman dengan Riva dan Budi yang kocak.


Percintaan antara Evie dan Riva bagi saya seperti maksa banget karena nggak sesuai dengan bukunya (entah ya kalau versi cerita nyatanya, karena penulis buku Cado Cado - Ferdi Riva menulis bukunya berdasarkan kisah nyata). Kayak yang seolah kok kalau dijadiin film jadi kurang menarik karena ceritanya lelucuan doang dan dunia medis terus nggak ada konflik percintaannya ya? Bikin aahh, antar Riva dan Evie kayaknya bisa nih disisipin kisah cintanya yang complicated.

Hani dengan bentuk cowok kok cukup mengagetkan saya ya, saya pikir dia cewek lho dalam buku, atau mungkin saya yang lupa? Dan Cilmil adalah cowok berkacamata yang tingginya imut-imut dan pinter, juga naksir parah sama Evie, lagi-lagi dalam buku. Di film malah jadinya cewek berkacamata yang jelas nggak pendek.

Rumah sakit sebagai settingnya juga terlalu bagus dan bersih, padahal dalam buku ada banyak adegan  di UGD Rumah Sakit Umum yang ya kita tahulah kondisinya seperti apa ya dan pastinya ada adegan kepanikan karena bingung pada penyebab ketuban pecah dini atau harus membersihkan ruangan yang kotor karena pasien dan sebagainya. Rumah sakitnya kelewat bagus dan bersih dan pasiennya terlalu sedikit dibandingkan dengan yang mereka hadapi di buku.

Di buku pun settingnya di Sumatera, bukan di Jakarta. Aneh aja sih mereka masih pakai dialog khas di buku dengan aku-kau padahal ceritanya di Jakarta. Ah entahlah nggak ngerti lagi :D

Harus saya bilang Cado-cado adalah film yang diangkat dari buku yang sukses tapi gagal untuk memasukkan semua unsur pentingnya ke dalam sebuah film. Cado-cado tidak memberikan saya sesuatu seperti halnya yang diberikan oleh film Laskar Pelangi, Jomblo dan Test Pack misalnya. 3 film itu adalah contoh dari film-film indonesia yang diambil dari buku best seller dan menurut saya sukses sekali memasukkan kisah dalam buku ke dalam bentuk film.

Bagi yang sudah duluan jatuh hati dengan bukunya dan sama kayak saya, pengin mendapatkan hiburan dari menonton film ini, well saya nggak merekomendasikan untuk nonton. Tapi kalau penasaran ya silakan-silakan saja, mungkin penilaian kita bisa jadi beda ;)

*) all pic source: random by Google

4 comments:

  1. Ya sulit kalau mau bikin setting rumah sakit yang semirip dengan rumah sakit pendidikan aslinya. Bagian properti dari tim produksi perlu studi banding ke rumah sakit pendidikan, dan itu akan sulit karena belum apa-apa mereka sudah akan terhambat birokrasi. Ini film komedi lah, tidak bisa menggambarkan carutmarutnya sistem pendidikan koass di Indonesia yang penuh intrik itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yah setidaknya kalau memang tidak bisa, seharusnya balik ke konsep komedi sih mbak. karena core cerita harusnya ke komedi. Tapi 90 persen dari film ini justru drama percintaan. padahal ekspektasi saya dan banyak orang yang nonton ini pasti karena bukunya lucu jadi mikir filmnya lucu juga but we don't get any :)

      Delete
  2. Kalau film yang di adaptasi dari novel tuh kadang susah juga ya, kadang ada aja bagian yang engga sesuai dengan yang ada di Novel nya...
    Salam kak Ninda...

    ReplyDelete